Senin, 15 Februari 2010

HUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM[1].... Oleh : Teuku Masrizar[2]



 “Hati-hati..,ancaman perang nuklir sudah lenyap,

 tapi bakal ada yang jauh-jauh lebih parah. Kalau perang dunia hanya membunuh ratusan ribu orang. tapi pemanasan global bisa membunuh jutaan orang.”

 Stephen Hawking, ahli fisika kelas dunia,



Pengantar

Hutan dalam banyak perspektif dapat dilihat sesuai dengan pandangan masing-masing orang. Bagi pemburu, hutan didefinisikan sebagai sebuah kawasan tempat hidupnya hewan buruan, bagi seorang Penebang kayu, dia melihat bahwa hutan adalah sebagai tempat tumbuhnya berbagai macam jenis kayu yang dapat dimanfaatkan, bagi seorang peneliti melihat hutan sebagai sebuah laboratorium alam yang sangat menarik untuk diteliti guna pengembangan ilmu pengetahuan. Jadi masing-masing orang sangat berbeda dalam melihat dan memandang hutan, artinya bahwa orang akan melihat dari memiliki pandangan dan perfektif masing-masing sesuai dengan kepentingannya. Namun dalam undang-undang disebutkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan[3].

Luas sumberdaya hutan secara Nasional berdasarkan hasil pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) adalah 120,35 juta ha atau sekitar 62,6% dari luas daratan Indonesia. Dalam kawasan hutan tersebut terkandung keanekaragaman hayati yang melimpah sehingga Indonesia juga dikenal sebagai mega-biodiversiti country. Sebagai gambaran misalnya, Indonesia memiliki sekitar 400 spesies pohon, 25.000 spesies tumbuhan berbunga, 1.519 species burung, 515 species satwa mamalia, 600 species satwa reptilia, dan 270 species amphibia.

Pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha, termasuk remaja. Pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya pelestarian lingkungan hidup sehingga hutan tetap dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan dan lestari.

Adapun fungsi hutan antara lain:

1.        Fungsi Ekonomi

-          sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya seperti rotan, damar dan lain-lain

-          Sebagai penghasil devisa bagi negara
2.       Fungsi Ekologis

-          mempertahankan kesuburan tanah

-           mencegah terjadinya erosi

-          mencegah terjadinya banjir

-          sebagai tempat untuk mempertahankan keanekaragaman hayati

3.       Fungsi Klimatologis

-          sebagai penghasil oksigen

-          sebagai pengatur iklim

4.       Fungsi Hidrologis

-          Sebagai pengatur tata air tanah

-          Sebagai penyimpan air tanah

-          Mencegah intrusi air laut


5.       Fungsi Sosial

-          Sebagian mayarakat menyakini dewa/sesembahan dalam hutan

-          Lahan agroforestry dimiliki secara komunal

Kondisi Hutan Aceh[4]

Panduan kebijakan yang bisa dijadikan rujukan hukum dalam pemantapan kawasan hutan adalah SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan, dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No. 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Nanggroe Aceh Darussalam. Secara lebih detail pembagian kawasan hutan Aceh atau arahan fungsi hutan Aceh menurut SK Gubernur Aceh No. 19 tahun 1999 sebagai berikut :


Total luas hutan Aceh 3.335.613 ha

1. Kawasan Lindung 2.697.033 ha
Ø  Hutan Konservasi 852.533 ha

a)    CA Pinus Janthoe 16.640 ha

b)    CA Serbajadi 300 ha

c)    SM Rawa Singkil 102.370 ha

d)    Tahura Pocut Meurah Intan 6.220 ha

e)    TN Gunung Leuser 623.987 ha

f)     TWA Iboih 1.200 ha

g)    TWA Kepulauan Banyak 15.000 ha

h)    TWA Lhok Asan (PLG) 112 ha

i)      TB Lingga Isak 86.704 ha

Ø  Hutan Lindung 1.844.500 ha


2. Kawasan Budidaya 638.580 ha

Hutan Produksi 638.580 ha

a)    Hutan Produksi Terbatas 37.300 ha

b)    Hutan Produksi Tetap 601.280 ha

Luas hutan Aceh menurut SK Menteri Kehutanan RI No. 170/Kpts-II/2000 adalah sama

dengan arahan fungsi yang dikeluarkan Gubernur Aceh, yakni 3.335.613 ha, sedangkan

luas daratan propinsi Aceh mencapai 5.539.000 ha. Secara keseluruhan, wilayah hutan

Aceh mencapai 60,22% dari total luas daratan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


a. Kerusakan Hutan

Kondisi hutan sebetulnya berkaitan dengan pola pengelolaan yang diterapkan oleh pemangku kepentingan. Pengelolaan hutan yang bersifat komersil dan dalam skala besar selama ini dilakukan di kawasan budidaya. Menurut arahan fungsi hutan seperti yang terlihat dalam table di atas, Aceh mempunyai kawasan budidaya seluas 638.580 ha, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 601.280 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 37.300 ha. Kawasan budidaya itulah yang selama ini dikelola dengan sistem HPH. Sampai tahun 2006, jumlah HPH/HPHTI yang masih beroperasi di Aceh sebanyak 11 unit HPH dan 8 unit HTI dan HTI Trans. Kondisi aktual hutan Aceh hingga kini masih diwarnai oleh berbagai tindakan yang mengarah pada terjadinya kerusakan dan degradasi hutan. Memang belum ada data resmi berapa kerusakan hutan Aceh yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kerusakan hutan di Aceh tidak hanya terjadi di kawasan budidaya (Hutan Produksi) namun juga di kawasan lindung. Barangkali dibutuhkan analisis citra satelit untuk mengetahui berapa kerusakan hutan Aceh saat ini. CI (2007) memperkirakan bahwa kerusakan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencapai 12.500 ha, baik di propinsi Aceh maupun Sumatera Utara.

b. Illegal Logging

BRR (2006) memperkirakan bahwa untuk kebutuhan rehab-rekon Aceh dibutuhkan 520.000 meter kubik kayu untuk pembangunan rumah bagi korban tsunami. Selama ini, kebutuhan kayu untuk rehab-rekon Aceh didatangkan dari berbagai sumber, baik dari IPK yang masih ada di Aceh, didatangkan dari luar daerah maupun diimport dari luar negeri. Karena ijin resmi IPK di Aceh banyak yang sudah berakhir, menyebabkan meningkatnya aktivitas illegal logging di lapangan.  

c. Kebakaran Hutan
Persoalan kehutanan lain yang dihadapi di Aceh adalah kebakaran hutan yang belum bisa ditangani dengan baik, seperti yang terjadi setiap tahun di Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Besar, misalnya dengan intensitas dan luas yang berbeda-beda. Penyebab terjadinya kebakaran hutan antara lain karena kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan hutan mudah terbakar, disamping itu juga ada kesalahan manusia dimana kemungkinan secara sengaja atau tidak sengaja membuang puntung rokok di kawasan hutan yang mudah terbakar. Di kawasan gambut, juga ditemukan banyak titik-titik api (hot spot) yang sangat mungkin menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

C. Moratorium Logging

Setelah terbentuknya pemerintah Aceh yang baru dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, kebijakan umum kehutanan di Aceh berubah sangat signifikan.

Pemerintah Aceh mendeklarasikan kebijakan penghentian sementara penebangan hutan (moratorium logging) melalui Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007. Beberapa pertimbangan mengapa moratorium logging perlu diterapkan di Aceh adalah sebagai berikut:

ü  Untuk memberikan waktu bagi penyusunan strategi pengelolaan hutan Aceh yangberkelanjutan.

ü  Memberikan kesempatan untuk menyusun data yang akurat tentang hutan Aceh.

ü  Melakukan evaluasi dan menata kembali status dan luas arahan fungsi hutan serta konsesi perizinan yang ada.

Kebijakan moratorium logging ini meliputi tiga program utama yakni melakukan penataan kembali hutan Aceh (redesign), menghutankan kembali kawasan hutan yang rusak (reforestasi), dan pengurangan laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi).

1.     Program Redesign
Menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan yang berkinerja buruk yang akan dituangkan dalam revisi rencana tata ruang untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

ü  Revisi tata ruang sesuai kebutuhan pembangunan berimbang (ekologi, ekonomi dan sosial)

ü  Evaluasi status dan luas konsesi hutan

ü  Rasionalisasi industri kayu sesuai ketersediaan bahan baku

ü  Pengembangan hasil hutan non kayu

ü  Optimalisasi luas dan manfaat hutan konservasi

ü  Penataan kembali kelembagaan dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan


2. Program Reforestasi
Melakukan peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan pelibatan masyarakat lebih optimal.

ü  Reorientasi prioritas lokasi-lokasi penanaman RHL.

ü  Mengupayakan berbagai sumber dana untuk RHL (donor, carbon market, dll).

ü  Mengembangkan hutan tanaman (HTI, HTR, Hutan rakyat,dsb).


3. Program Reduksi Deforestasi
Menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan serta pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih efektif dan penegakan hukum secara konsisten.

ü  Penegakan hukum.

ü  Efektivitas sistem pengamanan hutan.

ü  Penambahan jumlah personil tenaga pengamanan hutan.

ü  Penertiban penggunaan peralatan eksploitasi hutan.

Keusakan hutan yang berakibat kepada kemampuannya untuk merequestrasi carbon semakin menurun sehngga hal ini sangat berpengaruh terhadap pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim. Kerusakan-kerusakan hutan bukan hanya berakibat pada perbuhan iklim, namun secara nyata terlihat bahwa ganguan konflik satwa intensitasnya semakin meningkat di sejumlah kabupaten di Aceh, berikutnya juga banjir dan erosi telah menjadi bencana tahunan di berbagai wilayah Aceh sehingga menyensarakan masyarakat. Fakta lain juga semakin terlihat abrasi pantai, petani gagal panen, mewabahnya penyakit (malaria, DBD), kekeringan, sampai secara umum berpengaruh buruk terhadap perekonomian masyarakat.


Remaja Tunggu Apa Lagi?

Remaja sebagai salah satu stakeholders  yang akan mewariskan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup perlu mengambil langkah-langkah awal yang bijak untuk penyelamatan bumi dari perubahan iklim. Pintu masuk salah satunya adalah upaya-upaya yang akan dilakukan oleh kelompok remaja. Kegiatan penhijauan dalam lingkungan sekolah merupakan salah satu upaya langsung yang dapat dilakukan pada tingkatan sekolah.

Ada dua pendekatan yang mesti dilakukan sebgai upaya dalam menghadapi perubahan iklim oleh kelompok remaja, yaitu : Mitigasi dan Adaptasi. Mitigasi adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh remaja untuk mengurangi resiko bencana perubahan iklim, misalnya melakukan penghijaun di sekolah dan rumah masing-masing, pendidikan kesadaran lingkungan, dan upaya-upaya lain. Adaptasi adalah upaya mengatasi tekanan lingkungan sekitar  secara sistematik, terukur  dan bersifat menyeluruh, untuk bertahan hidup. Secara alamiah, adaptasi melekat pada setiap mahluk hidup. Konsekuensi gagal melakukan adaptasi adalah kematian. Sebaliknya, keberhasilan melakukan adaptasi akan memberikan kesempatan hidup, meskipun dengan beberapa perubahan pola kehidupan sebagai konsekwensi lainnya. Adaptasi yang dapat dilakukan misalnya mampu bertahan dengan kondisi perubahan suhu dan cuaca yang semakin berubah-rubah.

Menurut DR. James Hansen (ilmuan terkemuka NASA), menyatakan ada lima hal untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global dan perubahan iklim, yaitu :

1.    Berhenti atau kurangi makan daging !

2.    Batasilah Emisi Karbon Dioksida !

3.    Tanamilah lebih banyak pohon !

4.    Daur ulang (recycle) dan gunakan ulang (reuse)!

5.    Gunakan alat transpor alternatif untuk mengurangi emisi karbon !


Dan BERUBAHLAH !

-----00000-----




[1] Talk Show Radio, Jum’at 15 Januari 2010. Tema ”Respon Remaja terhadap Pemanasan Global dalam kontek lokal Aceh” (Djati FM Banda Aceh)

[2] Pemerhati Lingkungan, sedang studi di Pasca Sarjana Ekonomi Unsyiah

[3] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

[4] Saodah Lubis, Praktisi Kehutanan Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar